animasi naruto

Saturday 31 May 2014

Mazhab Eksistensial





Secara etimologis eksistensialisme memiliki akar kata eksistensi (Latin existentia, dari kata exsistere ‘menjadi ada’, dari ex- ‘keluar’ + sistere ‘mengambil tempat’).[i] Secara umum eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagaimana adanya sembari keluar dari dirinya, cara berada manusia. Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada kebebasan manusia, tanggung jawab pribadi, dan pentingnya seorang individu untuk menentukan pilihannya.[ii] Filsafat ini memandang segala apa yang ada dengan berpangkal pada eksistensi.[iii] Eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan sesuatu yang menjadikan individu itu ada. Secara umum, eksistensialisme dapat dipahami sebagai paham di mana seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan setiap pribadi bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pokok permenungan filsafat eksistensialisme adalah keseluruhan realitas manusia.
Aliran ini, sebagaimana aliran filsafat lainnya, muncul sebagai reaksi atas pemikiran-pemikiran filosofis sebelumnya. Filsafat modern berawal dari filsafat rasionalisme yang dicetuskan oleh René Descartes. Ungkapannya “Je pense donc je suis” atau lebih dikenal dengan “Cogito ergo sum” membuka cakrawala permenungan filsafat untuk menggunakan akal budi sebagai pengalaman yang menunjukkan keberadaan seseorang. Sejak saat itu bermunculan pula aliran-aliran filsafat modern seperti empirisme, historisisme, romantisme, idealisme, materialisme, nihilisme, esensialisme, eksistensialisme, dan nihilisme.
Eksistensialisme sendiri merupakan tanggapan atau bisa dibilang perlawanan terhadap idealisme, dan materialisme yang pada zaman filsafat modern didominasi oleh pemikiran Ludwig Feuerbach. Idealisme, terutama idealisme metafisis Hegelian, mengatakan bahwa manusia merupakan sintesis dari tesis dan antitesis. Hal ini mau mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk manusia hanyalah suatu representasi akal budi. Segala apa yang ada tidak bersifat fisik dan tidak memiliki materi. Rasionalitas yang dicetuskan oleh Descartes mengalami radikalisasi dalam idealisme. Realitas dijelaskan melalui ide-ide, akal budi mutlak, dsb. Eksistensialisme yang dibawa oleh Kierkegaard melawan paham ini. Eksistensialisme menjatuhkan idealisme melalui pandangan bahwa manusia memiliki cara berada dari eksistensinya. Karenanya, akal budi bukanlah pewujud nyata realitas. Akal budi merupakan cara manusia untuk mencerap keberadaan segala apa yang ada.
Eksistensialisme juga melawan materialisme. Materialisme melihat manusia pada prinsipnya hanya sebagai benda, sama dengan benda-benda lain seperti binatang, tumbuhan, atau bahkan benda mati seperti meja, kursi, dll. Manusia hanyalah bentuk ragawi yang dari padanya manusia dikatakan penuh. Materi manusia adalah kepenuhannya. Dengan demikian, manusia hanya dipandang sebagai objek sebagaimana benda-benda lainnya. Eksistensialisme Kierkegaard lagi-lagi menggugat pemikiran ini dengan mengatakan bahwa manusia bukanlah objek. Materi tubuh manusia hanyalah sebagian aspek kemanusiaan. Manusia memiliki cara berada yang berbeda dari ada-ada yang lain. Kendati manusia memiliki materi yang pada akhirnya menjadi sama dengan tanah, manusia tidak dapat diperlakukan seperti halnya tanah material. Manusia memiliki cara berada eksistensial yaitu melalui kebebasan berpikirnya. Manusia adalah subjek yang memiliki akal budi. Sejalan dengan akal budi tersebut, manusia memiliki kesadaran akan dirinya dan memiliki kemampuan untuk memetik makna dari setiap hal yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas-jelas membedakan manusia dari benda-benda yang lain. Kemampuan manusia untuk berpikir, merenung dan memaknai setiap bagian hidupnya merupakan hakikat perbedaan cara berada manusia dengan cara berada benda-benda yang lain. Manusia adalah subjek atas dirinya sendiri, sementara benda-benda di luar manusia adalah objek. Dengan demikian eksistensialisme menjadi pukulan besar bagi materialisme.
Dua aliran filsafat yang ditentang oleh eksistensialisme ini merupakan dua ekstrem yang berseberangan. Idealisme memandang manusia melulu sebagai subjek dan semata-mata berada hanya karena kemampuan akal budi. Materialisme, sebaliknya, melihat manusia semata-mata objek yang tidak berbeda dengan benda-benda di luarnya. Di sini kita melihat bahwa eksistensialisme menjadi penengah di antara kedua ekstrem ini. Kebebasan berpikir dan tanggung jawab pribadi ini membuat para eksistensialis melihat kebenaran bukan sebagai suatu hal yang mutlak. Kebenaran bergantung pada bagaimana seorang individu menilainya berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kebenaran bersifat relatif.
Para filosof eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu:[iv] pertama, kesedihan dan penderitaan adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika seseorang berpura-pura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan penderitaan, orang tersebut sebenarnya tidak memilih sama sekali. Tanpa penderitaan, seorang bisa menjadi apa pun namun bukan yang terbaik.
Kedua, pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan dengan hal yang tak dapat dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan, sikap apatis atau rasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari penderitaan yang melemahkan manusia.
Ketiga, nilai eksistensialis menitikberatkan pada kesadaran, membangkitkan hasrat, dan tekad seseorang untuk melibatkan segenap kemampuannya. Kierkegaard mengatakan, dia ingin mendapatkan nilai di mana dia siap untuk hidup dan bahkan bersedia mati. “Biarkan orang lain mengeluh bahwa dunia itu kejam,” serunya, “Keluhanku adalah sungguh celaka jika tidak ada hasrat.” Atau, dalam kata-kata Nietzsche: “Rahasia kemakmuran terbesar dan kebahagiaan terbesar adalah eksistensi hidup dalam bahaya.”
Singkatnya, nilai eksistensialis memiliki sumber yang sama, fungsi yang sama, dan identifikasi karakter yang sama. Sumbernya adalah kesadaran akan penderitaan yang melekat dalam kondisi manusia. Fungsinya adalah untuk membebaskan manusia dari rasa takut dan frustrasi karena beban kehidupan sehari-hari atau karena kebosanan akan lamunan filosofis. Identifikasi karakteristiknya adalah intensitas.
Kebebasan manusia yang ingin dicapai oleh eksistensialisme, kendati kebebasan adalah hal yang mutlak, bukanlah kebebasan dalam arti harfiah untuk berbuat segala sesuatu sesuka hati dengan dasar dorongan insting manusiawi. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan akal budi yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri untuk menentukan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya. Setiap manusia bisa menjadi apa saja, namun apakah hal itu berasal dari dorongan akal budi yang terbebas dari segala tekanan dan ketakutan. Bahwa penderitaan tidak dapat lepas dari setiap pilihan benar manusia, adalah konsekuensi yang harus dibayar untuk menempatkan diri dalam kebebasan eksistensial.

Tokoh-Tokoh Eksistensialisme

            Filsafat eksistensialisme ini berkembang cukup lama. Jika dilihat dari para filosofnya, bisa dikatakan bahwa aliran filsafat ini terus berkembang selama hampir satu abad. Ada beberapa filosof eksistensialis. Para eksistensialis yang pernah dikenal antara lain filosof Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (1831-1855); filosof Rusia, Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky (1821-1881) dan Nikolai Alexandrovich Berdyaev (1874-1948); filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Karl Theodor Jaspers (1883-1969), dan Jean-Paul Sartre (1905-1980). Beberapa di antaranya akan diuraikan secara singkat.

Søren Aabye Kierkegaard

Filsafat eksistensialisme dicetuskan oleh seorang filosof berkebangsaan Denmark, Kierkegaard. Dialah bapak eksistensialisme dalam sejarah filsafat dunia. Pemikiran-pemikiran Kierkegaard banyak dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang lantas dijatuhkannya dengan eksistensialisme. Sebagian besar pemikirannya telah dibahas sebelumnya, antara lain perlawanannya terhadap idealisme Hegel dan materialisme. Ia juga melihat bahwa manusia terus-menerus mengadakan dirinya melalui akal budi dan pengalaman hidupnya. Eksistensi manusia senantiasa menghantar manusia dari harapan menuju kenyataan. Kendati menjadi tokoh terkemuka dalam dunia filsafat, Kierkegaard tidak memberikan suatu formula khusus atau gambaran untuk kehidupan. Filsafatnya memberikan teori nilai filosofis di mana sebuah konsep asli kehidupan manusia dikembangkan.[v]
Kierkegaard, selain dikenal sebagai filosof juga dikenal sebagai teolog walaupun semula dia tidak tertarik pada teologi. Tulisan-tulisannya tentang relasi antara manusia dan Tuhan cukup banyak dan mendorong pembacanya untuk memiliki iman yang lebih teguh. Salah satu pemahaman Copleston tentang teologi Kierkegaard ialah, “The highest self-actualization of the individual is the relating of oneself to God, not as the universal, absolute Thought, but as the absolute Thou.[vi] Relasi antara manusia dengan Tuhan tidak dilihat sebagai relasi dengan semesta alam atau dengan pemikiran absolut, melainkan sebagai relasi aku Engkau.
Copleston menyebut Kierkegaard sebagai pemikir religius pertama dan terkemuka.[vii] Hal ini dapat kita lihat dari salah satu karyanya yang berjudul “Purity of Heart is to Will One Thing” yang ditulisnya pada tahun 1847.  Pada bagian pengantar ia menuliskan:
FATHER IN HEAVEN! What is a man without Thee! What is all that he knows, vast accumulation though it be, but a chipped fragment if he does not know Thee! What is all his striving, could it even encompass a world, but a half-finished work if he does not know Thee: Thee the One, who art one thing and who art all! So may Thou give to the intellect, wisdom to comprehend that one thing; to the heart, sincerity to receive this understanding; to the will, purity that wills only one thing. . .[viii]
Tulisan ini menunjukkan kekaguman Kierkegaard terhadap Tuhan. Kemurnian hati yang ia cantumkan dalam judul bukunya bisa jadi merupakan cita-cita jiwanya ketika berhadapan dengan Tuhan.
            Karya-karya penting Kierkegaard antara lain:[ix] Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn til Socrates (1841), Enten - Eller (1843), Frygt og Bæven (1843), Gjentagelsen (1843), Philosophiske Smuler (1844), Begrebet Angest (1844), Stadier paa Livets Vei (1845), Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift (1846), Opbyggelige Taler i forskjellig Aand (1847), Kjerlighedens Gjerninger (1847), Christelige Taler (1848), Sygdommen til Døden (1849), dan Indøvelse i Christendom (1850).

Friedrich Wilhelm Nietzsche

Nietzsche melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi, yaitu manusia yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi manusia super (Über-Mensch) yang bermental pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi Über-Mensch adalah penderitaan sebab melalui penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal budinya dengan lebih giat sampai ia menemukan jati dirinya. Dia mengatakan “My formula is Amor fati: . . . not only to bear up under every necessity, but to love it.[x] Nietzsche tidak hanya berusaha menghadapi penderitaan, tetapi juga mencintainya, karena itulah jalan menuju Über-Mensch. Demikianlah manusia bereksistensi.
Berbeda dengan Kierkegaard, Nietzsche dikenal sebagai seorang eksistensialis atheis bahkan disebut “pembunuh Tuhan” karena cetusannya “Gott ist tot.” Manusialah yang menjadi Über-Mensch dan menjadi pencipta, pendobrak nilai-nilai baru.[xi] Nietzsche’s hatred of Christianity proceeds principally from his view of its supposed effect on man, whom it renders weak, submissive, resigned, humble or tortured in conscience and unable to develop himself freely.[xii] Manusia tidak berkembang sebagaimana mestinya. Über-Mensch tidak akan tercapai dengan adanya Tuhan.
Karya-karya penting Nietzsche antara lain:[xiii] Die Geburt der Tragödie (1872), Unzeitgemäße Betrachtungen (1873-1876), Menschliches, Allzu menschliches (1878-1880), Morgenroth (1881), Die fröhliche Wissenschaft (1882); Also sprach Zarathustra (1883-1885), Jenseits von Gut und Böse (1886), Zur Genealogie der Moral (1887), Der Fall Wagner (1888), Götzen-Dämmerung (1889), Der Antichrist (1889), Ecce Homo (1889), Dionysos-Dithyramben (1889), dan Nietzsche contra Wagner (1889).

Jean-Paul Sartre (1905-1980)

Kutipan yang paling terkenal dari tokoh ini adalah “L’existence précède l’essence.” Sartre melihat bahwa cara berada adalah yang pertama-tama menjadikan manusia ada. Manusia mengada ketika manusia merencanakan dan menjalani hidupnya.  
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kebenaran bagi para eksistensialis bersifat relatif. Kebenaran ini mendapatkan batasannya ketika kebebasan berpikir seorang individu bertemu dengan kebebasan individu yang lain. Sartre, sebagai seorang tokoh eksistensialis abad dua puluh mengatakan:
The very being of the for itself which “condemned to be free” and must forever choose itself–i.e., make itself. “ ‘To be free’ does not mean ‘to obtain what one has wished’ but rather by oneself to determine oneself to wish’ (in the broad sense choosing) in other words success is not important to freedom.[xiv]
Sartre menyebutkan “Lhomme est condamné à être libre” bukan berarti manusia dapat mencapai segala keinginannya berkat kebebasan yang dia miliki. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk mengarahkan diri pada apa yang ingin dicapai, artinya manusia harus bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Kesuksesan bukanlah hal yang terpenting dalam kebebasan Sartrean.
Secara ironis kebebasan Sartrean ini dapat ditafsirkan pula menjadi hukuman ketika kebebasan itu bertemu dengan kebebasan lain. “L’enfer, c’est les autres.” Neraka adalah orang lain. Demikianlah Sartre melihat orang lain. Kebebasan mengalami degradasi pemaknaan ketika manusia berhadapan dengan kebebasan orang lain. Kebebasan menjadi terbatas ketika eksistensi seorang individu bertemu dengan eksistensi individu yang lain. Seseorang menjadi tidak bebas dengan apa yang dilakukannya. Namun Sartre tidak berhenti pada keterbatasan ini. Perjumpaan antar-individu ini justru menimbulkan tanggung jawab bagi manusia. Thus the first effect of existentialism is that puts every man possesses of himself as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon his own shoulders.[xv] Tanggung jawab menjadi konsekuensi dari eksistensi manusia. Segala hal yang dilakukan manusia, karena dilakukan atas kebebasan pikirannya, memuat tanggung jawab terhadap eksistensi manusia lainnya.
            Karya-karya penting Sartre antara lain:[xvi] L’Imagination (1936), La Transcendance de l’Ego (1937), La Nausée (1938), Le Mur (1939), L’Imaginaire (1940), Les Mouches (1943), L’être et le néant: Essai d’ontologie phénoménologique (1943), Huis-clos (1945), Morts sans sépulture (1946), La Putain respectueuse (1946), Baudelaire (1947), Les Jeux sont faits (1947), Les Mains sales (1948), Critique de la raison dialectique (1960), Les Mots (1964), Situations (I - X) (1947-1976), L’Idiot de la famille (1971-1973), dan Cahiers pour une morale (1983).
Eksistensialisme Sekarang

Eksistensialisme saat ini masih aktual untuk dibahas, melihat maraknya degradasi kehidupan bermasyarakat karena kebebasan, terutama kebebasan berpendapat. Sebagian orang memahami kebebasan secara salah dan memandangnya sebagai celah untuk melakukan serangan terhadap pihak lain. Kebebasan seperti ini justru menentang hakikat kebebasan itu sendiri. Letak pertentangan itu ialah dalam tindakan pihak-pihak yang berlaku sewenang-wenang. Mereka hanya menggunakan dorongan atau impuls-impuls instingtif untuk menguasai, mendominasi, unjuk kekuatan dsb. sembari bersembunyi di balik kelompok besar. Mereka tidak menggunakan akal budi secara bebas karena mereka berada di bawah tekanan ekonomi dan tekanan psikologis. Dalih eksistensi yang mereka maksud untuk unjuk diri, secara ironis justru mengaburkan eksistensi manusia mereka sendiri. Eksistensi yang tampak adalah eksistensi kelompok, sementara eksistensi individu diabaikan.
Dalam dunia pendidikan, eksistensialisme perlu dilihat sebagai metode pembinaan di mana anak didik dapat mengeksplorasi kreativitas berpikirnya. Kurikulum yang terlalu terpaku pada buku pegangan akan menimpangkan perkembangan anak didik. Pendidikan menjadi bentuk indoktrinasi tanpa membuka kemungkinan-kemungkinan akan adanya pemikiran-pemikiran baru, cerdas dan genial. Eksistensialisme menyadarkan kaum pendidik untuk memacu eksplorasi dan kreativitas anak didik. Pendidikan tidak lagi menjadikan anak didik sebagai objek pasif, melainkan sebagai subjek aktif untuk membina dirinya sendiri dan membina relasi yang saling membangun antara anak didik maupun dengan tenaga pendidik.
Eksistensialisme Kierkegaard juga menawarkan kepada kita suatu sikap iman pasrah kepada Tuhan. Dalam buku Frygt og Bæven, Kierkegaard mengatakan:
Infinite resignation is the last stage before faith, so anyone who has not made this movement does not have faith, for only in infinite resignation does an individual become conscious of his eternal validity, and only then can one speak of grasping existence by virtue of faith.[xvii]
Kita perlu belajar dari Kierkegaard untuk berhadapan dengan berbagai ketakutan dan kegentaran hidup. Sikap pasrah merupakan satu langkah menuju iman. Tanpa kepasrahan, iman tidak akan tercapai. Demikianlah kita semestinya berpasrah dengan takut dan gentar.




[i]   Bdk. http://oxforddictionaries.com/definition/english/existence?q=existence, diakses 30 September 2012.
[ii]   Bdk. Grolier Encyclopedia of Knowledge, (Connecticut: Grolier Incorporated, 1995), hlm. 172-173.
[iii] Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 185.
[iv] Bdk. Robert G. Olson, An Introduction to Existentialism, (New York: Dover Publications, 1962), hlm. 18.
[v]   John Douglas Mullen, Kierkegaard’s Philosophy: Self Deception and Cowardice in the Present Age, (New York: A Mentor Book New American Library, 1981), hlm. 160.
[vi] Frederick Copleston, A History of Philosophy Volume 7: 18th and 19th Century German Philosophy, (London: Continuum, 1963), hlm. 341.
[vii]             Ibid, hlm. 350.
[viii]             Søren Aabye Kierkegaard, Purity of Heart is to Will One Thing, translated by Douglas V. Steere, (New York: Harper Torchbook, 1956), hlm. 31.
[ix] http://id.wikipedia.org/wiki/Søren_Kierkegaard, diakses 30 September 2012.
[x] Dikutip dari Prof. Dr. Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), hlm. 39.
[xi] Ibid., hlm. 54.
[xii] Frederick Copleston, op. cit., hlm. 404.
[xiii] http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche, diakses 30 September 2012.
[xiv] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, translated by Hazal E. Barnes, (New York: Philosophical Library, 1965), hlm. 803.
[xv] Jean Paul Sartre, Existentialism and Humanism, translated by Ph. Mairet, (London: Methuen, 1948), hlm. 29.
[xvi] http://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre, diakses 30 September 2012.
[xvii]            Søren Aabye Kierkegaard, Fear and Trembling, (New Jersey: Princeton University Press, 1954), hlm. 46.

1 komentar:

said...

Thanks for this marvellous post.

Jual Obat Aborsi,

Obat Penggugur Kandungan,

Post a Comment

 
Design by http://ifmilfaukuma.blogspot.com/ | Bloggerized by ifmilfaukumai