Secara
etimologis eksistensialisme memiliki akar kata eksistensi (Latin existentia, dari kata exsistere ‘menjadi ada’, dari ex- ‘keluar’ + sistere ‘mengambil tempat’).[i]
Secara umum eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagaimana
adanya sembari keluar dari dirinya, cara berada manusia. Eksistensialisme adalah
salah satu aliran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada kebebasan manusia,
tanggung jawab pribadi, dan pentingnya seorang individu untuk menentukan
pilihannya.[ii]
Filsafat ini memandang segala apa yang ada dengan berpangkal pada eksistensi.[iii]
Eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan sesuatu yang menjadikan
individu itu ada. Secara umum, eksistensialisme dapat dipahami sebagai paham di
mana seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan setiap pribadi
bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pokok permenungan filsafat
eksistensialisme adalah keseluruhan realitas manusia.
Aliran
ini, sebagaimana aliran filsafat lainnya, muncul sebagai reaksi atas
pemikiran-pemikiran filosofis sebelumnya. Filsafat modern berawal dari filsafat
rasionalisme yang dicetuskan oleh René Descartes. Ungkapannya “Je pense donc je suis” atau lebih
dikenal dengan “Cogito ergo sum” membuka
cakrawala permenungan filsafat untuk menggunakan akal budi sebagai pengalaman
yang menunjukkan keberadaan seseorang. Sejak saat itu bermunculan pula
aliran-aliran filsafat modern seperti empirisme, historisisme, romantisme,
idealisme, materialisme, nihilisme, esensialisme, eksistensialisme, dan
nihilisme.
Eksistensialisme
sendiri merupakan tanggapan atau bisa dibilang perlawanan terhadap idealisme,
dan materialisme yang pada zaman filsafat modern didominasi oleh pemikiran Ludwig
Feuerbach. Idealisme, terutama idealisme metafisis Hegelian, mengatakan bahwa
manusia merupakan sintesis dari tesis dan antitesis. Hal ini mau mengatakan
bahwa segala sesuatu termasuk manusia hanyalah suatu representasi akal budi.
Segala apa yang ada tidak bersifat fisik dan tidak memiliki materi. Rasionalitas
yang dicetuskan oleh Descartes mengalami radikalisasi dalam idealisme. Realitas
dijelaskan melalui ide-ide, akal budi mutlak, dsb. Eksistensialisme yang dibawa
oleh Kierkegaard melawan paham ini. Eksistensialisme menjatuhkan idealisme
melalui pandangan bahwa manusia memiliki cara berada dari eksistensinya.
Karenanya, akal budi bukanlah pewujud nyata realitas. Akal budi merupakan cara
manusia untuk mencerap keberadaan segala apa yang ada.
Eksistensialisme
juga melawan materialisme. Materialisme melihat manusia pada prinsipnya hanya
sebagai benda, sama dengan benda-benda lain seperti binatang, tumbuhan, atau
bahkan benda mati seperti meja, kursi, dll. Manusia hanyalah bentuk ragawi yang
dari padanya manusia dikatakan penuh. Materi manusia adalah kepenuhannya.
Dengan demikian, manusia hanya dipandang sebagai objek sebagaimana benda-benda
lainnya. Eksistensialisme Kierkegaard lagi-lagi menggugat pemikiran ini dengan
mengatakan bahwa manusia bukanlah objek. Materi tubuh manusia hanyalah sebagian
aspek kemanusiaan. Manusia memiliki cara berada yang berbeda dari ada-ada yang
lain. Kendati manusia memiliki materi yang pada akhirnya menjadi sama dengan
tanah, manusia tidak dapat diperlakukan seperti halnya tanah material. Manusia
memiliki cara berada eksistensial yaitu melalui kebebasan berpikirnya. Manusia
adalah subjek yang memiliki akal budi. Sejalan dengan akal budi tersebut,
manusia memiliki kesadaran akan dirinya dan memiliki kemampuan untuk memetik
makna dari setiap hal yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas-jelas membedakan
manusia dari benda-benda yang lain. Kemampuan manusia untuk berpikir, merenung
dan memaknai setiap bagian hidupnya merupakan hakikat perbedaan cara berada
manusia dengan cara berada benda-benda yang lain. Manusia adalah subjek atas dirinya
sendiri, sementara benda-benda di luar manusia adalah objek. Dengan demikian
eksistensialisme menjadi pukulan besar bagi materialisme.
Dua
aliran filsafat yang ditentang oleh eksistensialisme ini merupakan dua ekstrem
yang berseberangan. Idealisme memandang manusia melulu sebagai subjek dan
semata-mata berada hanya karena kemampuan akal budi. Materialisme, sebaliknya,
melihat manusia semata-mata objek yang tidak berbeda dengan benda-benda di
luarnya. Di sini kita melihat bahwa eksistensialisme menjadi penengah di antara
kedua ekstrem ini. Kebebasan berpikir dan tanggung jawab pribadi ini membuat
para eksistensialis melihat kebenaran bukan sebagai suatu hal yang mutlak.
Kebenaran bergantung pada bagaimana seorang individu menilainya berdasarkan
kemampuan berpikirnya. Kebenaran bersifat relatif.
Para
filosof eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu:[iv]
pertama, kesedihan dan penderitaan
adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika seseorang
berpura-pura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan
penderitaan, orang tersebut sebenarnya tidak memilih sama sekali. Tanpa
penderitaan, seorang bisa menjadi apa pun namun bukan yang terbaik.
Kedua,
pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan dengan hal yang tak dapat
dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan, sikap apatis
atau rasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari penderitaan
yang melemahkan manusia.
Ketiga,
nilai eksistensialis menitikberatkan pada kesadaran, membangkitkan hasrat, dan tekad
seseorang untuk melibatkan segenap kemampuannya. Kierkegaard mengatakan, dia
ingin mendapatkan nilai di mana dia siap untuk hidup dan bahkan bersedia mati. “Biarkan
orang lain mengeluh bahwa dunia itu kejam,” serunya, “Keluhanku adalah sungguh celaka
jika tidak ada hasrat.” Atau, dalam kata-kata Nietzsche: “Rahasia kemakmuran terbesar
dan kebahagiaan terbesar adalah eksistensi hidup dalam bahaya.”
Singkatnya,
nilai eksistensialis memiliki sumber yang sama, fungsi yang sama, dan identifikasi
karakter yang sama. Sumbernya adalah
kesadaran akan penderitaan yang melekat dalam kondisi manusia. Fungsinya adalah untuk membebaskan manusia
dari rasa takut dan frustrasi karena beban kehidupan sehari-hari atau karena kebosanan
akan lamunan filosofis. Identifikasi karakteristiknya
adalah intensitas.
Kebebasan
manusia yang ingin dicapai oleh eksistensialisme, kendati kebebasan adalah hal
yang mutlak, bukanlah kebebasan dalam arti harfiah untuk berbuat segala sesuatu
sesuka hati dengan dasar dorongan insting manusiawi. Kebebasan yang dimaksud
adalah kebebasan akal budi yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri
untuk menentukan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya. Setiap manusia bisa
menjadi apa saja, namun apakah hal itu berasal dari dorongan akal budi yang
terbebas dari segala tekanan dan ketakutan. Bahwa penderitaan tidak dapat lepas
dari setiap pilihan benar manusia, adalah konsekuensi yang harus dibayar untuk
menempatkan diri dalam kebebasan eksistensial.
Tokoh-Tokoh Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme ini
berkembang cukup lama. Jika dilihat dari para filosofnya, bisa dikatakan bahwa
aliran filsafat ini terus berkembang selama hampir satu abad. Ada beberapa
filosof eksistensialis. Para eksistensialis yang pernah dikenal antara lain
filosof Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (1831-1855); filosof Rusia, Fyodor
Mikhailovich Dostoyevsky (1821-1881) dan Nikolai Alexandrovich Berdyaev (1874-1948);
filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Karl Theodor Jaspers
(1883-1969), dan Jean-Paul Sartre (1905-1980). Beberapa di antaranya akan
diuraikan secara singkat.
Søren Aabye Kierkegaard
Filsafat
eksistensialisme dicetuskan oleh seorang filosof berkebangsaan Denmark, Kierkegaard.
Dialah bapak eksistensialisme dalam sejarah filsafat dunia. Pemikiran-pemikiran
Kierkegaard banyak dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang lantas dijatuhkannya
dengan eksistensialisme. Sebagian besar pemikirannya telah dibahas sebelumnya,
antara lain perlawanannya terhadap idealisme Hegel dan materialisme. Ia juga
melihat bahwa manusia terus-menerus mengadakan dirinya melalui akal budi dan
pengalaman hidupnya. Eksistensi manusia senantiasa menghantar manusia dari
harapan menuju kenyataan. Kendati menjadi tokoh terkemuka dalam dunia filsafat,
Kierkegaard tidak memberikan suatu formula khusus atau gambaran untuk
kehidupan. Filsafatnya memberikan teori nilai filosofis di mana sebuah konsep
asli kehidupan manusia dikembangkan.[v]
Kierkegaard,
selain dikenal sebagai filosof juga dikenal sebagai teolog walaupun semula dia
tidak tertarik pada teologi. Tulisan-tulisannya tentang relasi antara manusia
dan Tuhan cukup banyak dan mendorong pembacanya untuk memiliki iman yang lebih
teguh. Salah satu pemahaman Copleston tentang teologi Kierkegaard ialah, “The highest self-actualization of the individual is the relating of
oneself to God, not as the universal, absolute Thought, but as the absolute
Thou.”[vi] Relasi antara manusia dengan Tuhan tidak
dilihat sebagai relasi dengan semesta alam atau dengan pemikiran absolut,
melainkan sebagai relasi aku Engkau.
Copleston
menyebut Kierkegaard sebagai pemikir religius pertama dan terkemuka.[vii]
Hal ini dapat kita lihat dari salah satu karyanya yang berjudul “Purity of Heart is to Will One Thing”
yang ditulisnya pada tahun 1847. Pada
bagian pengantar ia menuliskan:
FATHER IN HEAVEN! What is a man without Thee! What is
all that he knows, vast accumulation though it be, but a chipped fragment if he
does not know Thee! What is all his striving, could it even encompass a world,
but a half-finished work if he does not know Thee: Thee the One, who art one
thing and who art all! So may Thou give to the intellect, wisdom to comprehend
that one thing; to the heart, sincerity to receive this understanding; to the
will, purity that wills only one thing. . .[viii]
Tulisan ini
menunjukkan kekaguman Kierkegaard terhadap Tuhan. Kemurnian hati yang ia
cantumkan dalam judul bukunya bisa jadi merupakan cita-cita jiwanya ketika
berhadapan dengan Tuhan.
Karya-karya penting Kierkegaard
antara lain:[ix] Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn til
Socrates (1841), Enten - Eller (1843), Frygt og Bæven (1843), Gjentagelsen
(1843), Philosophiske Smuler (1844), Begrebet Angest (1844), Stadier paa Livets
Vei (1845), Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift (1846), Opbyggelige Taler i
forskjellig Aand (1847), Kjerlighedens Gjerninger (1847), Christelige Taler
(1848), Sygdommen til Døden (1849), dan Indøvelse i Christendom (1850).
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Nietzsche
melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi, yaitu manusia
yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi manusia super (Über-Mensch)
yang bermental pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi Über-Mensch adalah penderitaan
sebab melalui penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal budinya dengan
lebih giat sampai ia menemukan jati dirinya. Dia mengatakan “My formula is Amor fati: . . . not only to bear up under every
necessity, but to love it.”
[x]
Nietzsche tidak hanya berusaha menghadapi penderitaan, tetapi
juga mencintainya, karena itulah jalan menuju Über-Mensch. Demikianlah manusia
bereksistensi.
Berbeda
dengan Kierkegaard, Nietzsche dikenal sebagai seorang eksistensialis atheis
bahkan disebut “pembunuh Tuhan” karena cetusannya “Gott ist tot.” Manusialah yang menjadi Über-Mensch dan menjadi pencipta, pendobrak
nilai-nilai baru.[xi] Nietzsche’s
hatred of Christianity proceeds principally from his view of its supposed
effect on man, whom it renders weak, submissive, resigned, humble or tortured
in conscience and unable to develop himself freely.[xii]
Manusia tidak berkembang sebagaimana mestinya. Über-Mensch
tidak akan tercapai dengan adanya Tuhan.
Karya-karya penting Nietzsche antara lain:[xiii]
Die Geburt der Tragödie (1872), Unzeitgemäße Betrachtungen (1873-1876),
Menschliches, Allzu menschliches (1878-1880), Morgenroth (1881), Die fröhliche
Wissenschaft (1882); Also sprach Zarathustra (1883-1885), Jenseits von Gut und
Böse (1886), Zur Genealogie der Moral (1887), Der Fall Wagner (1888),
Götzen-Dämmerung (1889), Der Antichrist (1889), Ecce Homo (1889),
Dionysos-Dithyramben (1889), dan Nietzsche contra Wagner (1889).
Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Kutipan
yang paling terkenal dari tokoh ini adalah “L’existence
précède l’essence.” Sartre melihat bahwa cara berada adalah yang
pertama-tama menjadikan manusia ada. Manusia mengada ketika manusia
merencanakan dan menjalani hidupnya.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa kebenaran bagi para eksistensialis bersifat
relatif. Kebenaran ini mendapatkan batasannya ketika kebebasan berpikir seorang
individu bertemu dengan kebebasan individu yang lain. Sartre, sebagai seorang
tokoh eksistensialis abad dua puluh mengatakan:
The very
being of the for itself which “condemned to be free” and must forever choose
itself–i.e., make itself. “ ‘To be free’ does not mean ‘to obtain what one has
wished’ but rather by oneself to determine oneself to wish’ (in the broad sense
choosing) in other words success is not important to freedom.[xiv]
Sartre menyebutkan
“L’homme est condamné à être libre” bukan berarti manusia
dapat mencapai segala keinginannya berkat kebebasan yang dia miliki. Kebebasan yang
dimaksud adalah kebebasan untuk mengarahkan diri pada apa yang ingin dicapai,
artinya manusia harus bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Kesuksesan
bukanlah hal yang terpenting dalam kebebasan Sartrean.
Secara
ironis kebebasan Sartrean ini dapat ditafsirkan pula menjadi hukuman ketika
kebebasan itu bertemu dengan kebebasan lain. “L’enfer, c’est les autres.” Neraka adalah orang lain. Demikianlah Sartre melihat orang lain. Kebebasan
mengalami degradasi pemaknaan ketika manusia berhadapan dengan kebebasan orang
lain. Kebebasan menjadi terbatas ketika eksistensi seorang individu bertemu
dengan eksistensi individu yang lain. Seseorang menjadi tidak bebas dengan apa
yang dilakukannya. Namun Sartre tidak berhenti pada keterbatasan ini.
Perjumpaan antar-individu ini justru menimbulkan tanggung jawab bagi manusia. Thus
the first effect of existentialism is that puts every man possesses of himself
as he is, and places the entire responsibility for his existence squarely upon
his own shoulders.[xv] Tanggung jawab menjadi konsekuensi dari eksistensi manusia. Segala hal
yang dilakukan manusia, karena dilakukan atas kebebasan pikirannya, memuat
tanggung jawab terhadap eksistensi manusia lainnya.
Karya-karya penting Sartre antara
lain:[xvi]
L’Imagination (1936), La
Transcendance de l’Ego (1937), La Nausée (1938), Le Mur (1939), L’Imaginaire
(1940), Les Mouches (1943), L’être et le néant: Essai d’ontologie
phénoménologique (1943), Huis-clos (1945), Morts sans sépulture (1946), La
Putain respectueuse (1946), Baudelaire (1947), Les Jeux sont faits (1947), Les
Mains sales (1948), Critique de la raison dialectique (1960), Les Mots (1964),
Situations (I - X) (1947-1976), L’Idiot de la famille (1971-1973), dan Cahiers
pour une morale (1983).
Eksistensialisme Sekarang
Eksistensialisme
saat ini masih aktual untuk dibahas, melihat maraknya degradasi kehidupan
bermasyarakat karena kebebasan, terutama kebebasan berpendapat. Sebagian orang
memahami kebebasan secara salah dan memandangnya sebagai celah untuk melakukan
serangan terhadap pihak lain. Kebebasan seperti ini justru menentang hakikat
kebebasan itu sendiri. Letak pertentangan itu ialah dalam tindakan pihak-pihak
yang berlaku sewenang-wenang. Mereka hanya menggunakan dorongan atau
impuls-impuls instingtif untuk menguasai, mendominasi, unjuk kekuatan dsb.
sembari bersembunyi di balik kelompok besar. Mereka tidak menggunakan akal budi
secara bebas karena mereka berada di bawah tekanan ekonomi dan tekanan
psikologis. Dalih eksistensi yang mereka maksud untuk unjuk diri, secara ironis
justru mengaburkan eksistensi manusia mereka sendiri. Eksistensi yang tampak
adalah eksistensi kelompok, sementara eksistensi individu diabaikan.
Dalam
dunia pendidikan, eksistensialisme perlu dilihat sebagai metode pembinaan di
mana anak didik dapat mengeksplorasi kreativitas berpikirnya. Kurikulum yang
terlalu terpaku pada buku pegangan akan menimpangkan perkembangan anak didik.
Pendidikan menjadi bentuk indoktrinasi tanpa membuka kemungkinan-kemungkinan
akan adanya pemikiran-pemikiran baru, cerdas dan genial. Eksistensialisme
menyadarkan kaum pendidik untuk memacu eksplorasi dan kreativitas anak didik.
Pendidikan tidak lagi menjadikan anak didik sebagai objek pasif, melainkan
sebagai subjek aktif untuk membina dirinya sendiri dan membina relasi yang
saling membangun antara anak didik maupun dengan tenaga pendidik.
Eksistensialisme
Kierkegaard juga menawarkan kepada kita suatu sikap iman pasrah kepada Tuhan.
Dalam buku Frygt og Bæven, Kierkegaard
mengatakan:
Infinite resignation is the last stage before
faith, so anyone who has not made this movement does not have faith, for only
in infinite resignation does an individual become conscious of his eternal
validity, and only then can one speak of grasping existence by virtue of faith.[xvii]
Kita perlu belajar
dari Kierkegaard untuk berhadapan dengan berbagai ketakutan dan kegentaran
hidup. Sikap pasrah merupakan satu langkah menuju iman. Tanpa kepasrahan, iman
tidak akan tercapai. Demikianlah kita semestinya berpasrah dengan takut dan
gentar.
[i] Bdk. http://oxforddictionaries.com/definition/english/existence?q=existence,
diakses 30 September 2012.
[ii] Bdk. Grolier
Encyclopedia of Knowledge,
(Connecticut: Grolier Incorporated,
1995), hlm. 172-173.
[iii] Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia,
2005), hlm. 185.
[iv] Bdk. Robert G. Olson, An Introduction to Existentialism, (New
York: Dover Publications, 1962), hlm. 18.
[v] John Douglas Mullen, Kierkegaard’s Philosophy: Self Deception and
Cowardice in the Present Age, (New York: A Mentor Book New American
Library, 1981), hlm. 160.
[vi] Frederick Copleston, A History of Philosophy Volume 7: 18th and 19th Century German
Philosophy,
(London: Continuum, 1963), hlm. 341.
[viii] Søren Aabye
Kierkegaard, Purity of Heart is to Will
One Thing, translated by Douglas V. Steere, (New York: Harper Torchbook,
1956), hlm. 31.
[ix] http://id.wikipedia.org/wiki/Søren_Kierkegaard,
diakses 30 September 2012.
[x] Dikutip dari Prof. Dr. Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973),
hlm. 39.
[xii] Frederick Copleston,
op. cit., hlm. 404.
[xiii] http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche, diakses 30 September
2012.
[xv] Jean Paul Sartre,
Existentialism and Humanism, translated
by Ph. Mairet, (London: Methuen, 1948), hlm. 29.
[xvi] http://id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre, diakses 30 September
2012.
[xvii] Søren Aabye
Kierkegaard, Fear and Trembling, (New
Jersey: Princeton University Press, 1954), hlm. 46.